Waimital Dan Kenangan

Sore itu langkah terayung dengan asa
Menuju tempat peristirahatan anak – anak yang suka bergembala
Aku merasakan sentuhan angin yang rama menyapa tubuhku
Seperti ada pelukan hangat seorang kawan
Sejenak kubiarkan pelukan itu dalam hati saja
Lalu ku penuhi rasa penarasan dengan sentuhan disetiap sudut rumah
Barangkali jiwaku bisa menyatu

Sore itu aku melihat kenangan dimata anak-anak yang telah dewasa
Ada bahagia, sedih, rindu dan harapan untuk membenah
Aku juga menyaksikan tawa seorang wanita yang mengaku saksi para gembala sapi
Sepertinya aku mengerti, bahwa itu bukan tawa biasa
Tapi rindu bercampur bahagia  yang telah lama dinanti
Dia hanya menipu mata ini dengan senyum lebar
Supaya Kristal-kristal bening itu tidak membasahi wajahnya

Sore itu aku di Waimital dan alam saksinya
Aku tak punya kenangan masa lalu disitu
Tapi akan jadi kenangan untuk masa mendatang
Seperti halnya anak-anak yang pernah tersesat di hutang
Telah membuat sejarah yang disaksikan saat ini
Meski tak banyak yang tahu, tapi aku mengerti arti kerinduan
Waimital dan kenangan, sebab itu kami datang.

R. Leikawa
Kapal Fery-Waipirit, 4 Juni 2016

Namamu Koruptor

Tak  ada lagi rasa berdosa

Atau mungkin  tak punya malu

Diam-diam kau gantungkan nama koruptor

Di jas mahal berwarna hitam

 

Awalnya tidak terlihat

Bahkan orang-orang disekitamu

Juga ikut buta dengan penampilanmu

Yang turut tersenyum lebar penuh kepalsuan

 

Oh rupanya, Tuhan berkehendak lain

Sudah waktunya namamu di perjelas

Di pertebal dan di garis bawahi

Agar rakyat tahu namamu koruptor

 

Kau yang  berwajah manis, hidupmu difasilitasi

Punya istri dan anak juga ikut-ikutan bergaya mewah

Bahkan gigi mu yang putih  itu

Juga dibersihkan dengan uang rakyat

 

Mengapa begitu bangga jadi koruptor

Merampok hak rakyat dengan tangan yang pernah berikrar

Apa karena biaya lipstik dan perhiasan perempuanmu tak cukup?

Atau karena anak-anakmu yang suka berganti mobil ber-merek?

 

Padahal di Negeri ini

Kau sudah punya segalanya

Bahkan jarang melihatmu mengantri disetiap loket

Itu karena kau sudah dipertuangkan

 

Namamu koruptor,  itu yang ku tahu

Semua hasil rampasan

Telah menjadi daging dalam tubuhmu

Semoga darah kotor itu tetap menjadi milikmu saja

Tidak mengalir pada generasi mu

 

Oleh :

R. Leikawa

Ambon, 22 Februari 2015

 

Keterangan :

Puisi ini sudah termuat pada Buku Antologi Puisi Menolak Korupsi edisi 4 Penerbit Forum Sastra Surakarta, sengaja dimuat kembali disini pada tanggal 9 Desember 2015, sebagai salah satu penolakan terhadap Korupsi di Indonesia.

9 Desember adalah Hari Anti Korupsi.

Mari Satukan Hati TOLAK KORUPSI

 

 

Mantan Kekasih

Kenapa kau hadir lagi
Padahal diriku sudah bahagia
Tanpamu, aku bisa tersenyum manis
Menari dan berlari sesuka hati
Meski itu ku lakukan sendiri

Kenapa kau bertanya lagi
Padahal dirimu sudah terlupakan
Tanpamu, aku bisa melakukan segalanya
Kau bukan lagi alarm pengingat waktu
Bukan lagi penggetar hati

Kenapa kau menyapa ku lagi
Padahal dirimu yang memutuskan untuk pergi
Tanpamu, aku tetap menjadi diriku sendiri
Meski pernah kau banjiri duka dalam hati
Tapi bukan berarti aku mati

Duhai Mantan Kekasih
Jangan datang lagi
Karena senja akan berganti malam
Saat itu aku akan bercinta dengan rembulan
Dan bintang yang menjadi saksinya

Tak perlu merisaukan diriku
Karena esok masih ada mentari yang menantiku
Bahkan dibalik jendela, embun pagi menungguku
Dengan suka cita menyambut asa yang baru
Dan karena Tuhan tahu siapa yang tepat untukku

Oleh : R. Leikawa
Ambon-Waeheru, 3 Agustus 2015
21.00 WIT

DI BAWAH LANGIT YANG SAMA

Oleh: R. Leikawa

Pada langit yang sama kita menatap keatas
Pada tanah yang sama kita berdiri diatasnya

Namun hujan tak merata jatuh sesuka hati
Tak semua jiwa merasakan pelukan air langit

Malam itu tubuh kita basah dihujani
Namun tak semua rumput basah

Meski dibawah langit yang sama
Hujan berhak memilih tempat untuk disirami

Bahkan diseparuh perjalanan kita harus berhenti
Sedang aku sangat menikmati semilir angin malam itu

Menatap keanehan diatas sana, Tak perduli tubuhku yang basah
Dan kau yang membawaku, memilih jalan untuk pulang

Ambon, 26 Juli 2015

Mata Gobang di Halmahera

Tuan.. ku beri nama kau mata gobang
Karena matamu yang panas, merah seperti iblis
Kau yang tak berhati
Pendukungmu juga mata gobang

Gobang

                              Gobang – Gobang

Kalian ingin merubah sejarah
Sampai lupa identitas Negeri ini
Demi gobang yang melimpah
Togutil jadi incaranmu

Nafsu dan keserakahan
Ingin merebut, menguasai tanah saudara kami
Kau pikir tanah itu tidak ber-Tuhan..?
Atau penghuninya tak bernyawa..?

Oh… Mata Gobang berjiwa pencuri
Bokum dan Nuhu adalah saudara kami
Kau tuduh pembunuh dan tangkap tanpa bukti
Supaya bebas mengambil hak penjaga rimba Halmahera

Wahai pemilik niat busuk perongrong bangsa
Togutil adalah kekayaan yang terbatas
Jangan kau rampas begitu saja
Karena kami akan berteriak

Kembalikan lahan saudara kami
Angkat kaki dari bumi Halmahera
Bebaskan Bokum dan Nuhu
Atau kami akan mengutukmu..!!

R. Leikawa
Ambon-Waeheru, 20 Maret 2015

Ket:
Mata Gobang: Mata uang, materialis, orang yang terlalu mementingkan uang, harta dsb

Aku Pun Mulai Malu

Malu pada tanah yang selalu diinjak
Namun tak pernah mengeluh kesakitan
Sedang aku selalu merasa kekurangan dan hina
Padahal aku sudah diberi tempat yang layak

Malu pada awan putih
Bersih tanpa noda
Sedang aku selalu mengotori hati ini
Padahal Tuhan telah berfirman untuk menjaga hati

Malu pada laut yang kaya isinya
Luas terbentang dimuka bumi
Sedang aku selalu menyombongkan diri
Padahal ilmu ku tak sebanding air laut beserta isinya

Malu pada bintang dan matahari
Yang selalu bersinar terang
Sedang aku merasa paling hebat
Padahal aku belum menyinari rumah piatu yang gelap

Dan Aku pun mulai malu
Pada gunung, hutang, dan air
Pada pelangi, senja, dan fajar
Pada tetesan embun, dan debu

Bahwa semuanya memiliki kharisma
Namun mereka hanya diam dalam pesona yang menakjubkan
Sedang aku masih sibuk mengurus diriku
Yang tak pernah puas dan lupa

Padahal Tuhan sudah memberi tanda
Pada setiap bentuk yang ada dibumi
Lantas nikmat apa lagi
Yang harus aku pertanyakan?

Sungguh, Aku pun mulai malu…!!

R. Leikawa
Ambon, 1 Juli 2015